UNIBADAILY.ID, Serang – AFEBSI (Aliansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Swasta Indonesia) menggelar Webinar Nasional sekaligus Launching Guru Besar AFEBSI Nasional. Acara Diselenggarakan melalui Zoom Meeting dihadiri oleh dekan, rektor, dan dosen dari berbagai kampus swasta di Indonesia hadir dalam satu forum, Rabu (1/10/2025).
Acara ini menjadi penting bukan hanya karena tema yang diangkat, tetapi juga karena atmosfer kebersamaan para penggerak pendidikan tinggi swasta yang begitu terasa.
Diskusi dipandu oleh moderator Dr. Agus Andi Subroto, Dekan Fakultas Hukum dan Bisnis ITB Yadika Pasuruan sekaligus Ketua DPD AFEBSI Jawa Timur dengan tema “Masa Depan Pendidikan Tinggi Swasta: Tantangan Rekrutmen Mahasiswa di Tengah Gempuran PTNBH.”
Tak kurang 52 peserta hadir, mulai dari pimpinan fakultas hingga pimpinan universitas. Suasana pun hangat sekaligus serius. Tema yang dipilih menyentuh problem klasik yang terus menghantui kampus swasta: menurunnya jumlah mahasiswa baru setiap tahun, sementara PTN semakin dominan dengan berbagai status baru, terutama PTNBH.
Membuka Kotak Pandora
Ketua DPN AFEBSI Nasional, Achmad Rozy, SE., MM., CPHCM, bersama keynote speaker Prof. Dr. H. Dikdik Harjadi, SE., M.Si., Rektor Universitas Kuningan sekaligus Dewan Penasehat AFEBSI, membuka acara dengan paparan yang membuat audiens terpaku.
Mereka menyingkap fakta pahit: PTS semakin sulit bersaing dalam menarik mahasiswa baru.
Prof. Dikdik menegaskan, “Enam tantangan utama: persaingan yang kian ketat, dominasi persepsi masyarakat yang masih negeri-minded, keterbatasan SDM dan finansial PTS, pentingnya diferensiasi prodi, kemitraan dengan industri, serta peran besar orang tua dalam memilih kampus bagi anak-anak mereka”, ungkapnya.
Ia menutup paparannya dengan keyakinan bahwa PTS tetap vital dalam menjaga akses pendidikan tinggi di Indonesia.
Suara-suara dari Guru Besar
Diskusi berlanjut dengan paparan empat guru besar yang masing-masing menghadirkan perspektif berbeda, namun tetap dalam satu benang merah: memperjuangkan eksistensi kampus swasta.
Prof. Dr. Luthfi, M.Fin., asesor Lamemba, juga sebagai Dekan Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya mengungkap fakta lapangan bahwa banyak PTS kini benar-benar sepi peminat.
“Ada perusahaan yang secara implisit hanya mau menerima lulusan dari prodi dengan akreditasi “Baik Sekali”. Ia mengingatkan, AFEBSI harus lebih vokal menyuarakan keresahan ini ke regulator”, tegasnya.
Kemudian dari Jambi, Prof. Dr. Hj. Arna Suryani, SE., M.Ak., Ak., CA., Dekan FEB Universitas Batanghari, memotret fenomena serupa.
Ia menyoroti praktik PTN yang tetap menerima mahasiswa baru meski jadwal resmi sudah lewat, serta fenomena pembukaan prodi baru secara instan begitu ada tren.
Menurutnya, kampus swasta harus tampil otentik, memberi pelayanan personal kepada mahasiswa, dan tidak sekadar mengejar akreditasi.
“Di mata orang tua, kuliah di PTN tetap jadi pilihan utama. Maka PTS harus berbeda, harus punya ciri khas,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Perdana Wahyu Santosa, MM., Dekan FEB Universitas Yarsi Jakarta, berbicara dengan nada getir.
Ia memperingatkan, jika tidak ada langkah strategis, 30 persen PTS bisa gulung tikar dalam lima tahun mendatang. “Kita dosen swasta sudah lama menangis,” ucapnya.
Namun ia juga menekankan bahwa kesetaraan hibah antara PTN dan PTS sangat krusial untuk bertahan.
Paparan ditutup oleh Prof. Dr. H. Bambang Dwi Suseno, SE., MM., Wakil Rektor Universitas Bina Bangsa. Ia menyebut empat tantangan utama PTS: perebutan mahasiswa, pembiayaan, akreditasi, dan SDM.
Menggarisbawahi pentingnya advokasi AFEBSI dalam kebijakan publik melalui Komisi X DPR RI, Kemdikbudristek, media, dan kampanye publik.
“Formulasi penerimaan mahasiswa baru menjadi kunci, apalagi usia demografi perguruan tinggi semakin menyempit,” ungkapnya.
Webinar ditutup dengan satu kesimpulan kuat: AFEBSI tidak boleh hanya jadi penonton. Aliansi ini harus hadir nyata, menyuarakan aspirasi kampus swasta kepada negara.
Rekomendasi yang mengemuka pun jelas: AFEBSI perlu lebih sering berdialog dengan DPR RI, khususnya Komisi X, menjalin komunikasi intens dengan Kemdikbudristek, serta menggandeng asosiasi PTS lain untuk membangun kekuatan bersama.
“AFEBSI bicara, negeri harus mendengar.” Kalimat itu menjadi gema di ujung diskusi. Sebab jika negeri terlalu sibuk mengurus yang besar-besar, maka PTS-lah yang setia menjaga mimpi-mimpi kecil anak bangsa agar tetap hidup.
Urip iku Urup. Setiap kata adalah cahaya. Semoga catatan kecil ini menjadi sedekah yang menyalakan kebaikan bersama.***